BIARKAN
MEREKA TAHU
Duduk
terpaku menatap keramaian dan kebisingan, aku hanya dapat diam seraya berpikir
“apa yang membuat mereka begitu senang hari ini?”. Apakah karena dosen yang
tidak hadir atau karena ada perbincangan yang tidak kuketahui. Kucoba mengambil
sebuah buku dari tas hitam tua milikku berharap ada sesuatu yang dapat mengisi
waktu lamunan ini, namun nihil, hanya buku catatan biasa yang kutemukan.
Mencoba merangkul dan berbagi dengan teman adalah hal yang sulit bagiku. Tidak
ingin dianggap terlalu akrab dan sok kenal adalah ketakutanku. Berpikir jika
aku terlihat bodoh saat ini hanya karena alasan seperti itu adalah bukan
pilihan, akhirnya aku bangkit dari kursi dan berpindah menuju sebuah kubu yang
dapat menerima keberadaanku.
“Apa
yang kalian bicarakan? Dapatkah aku bergabung?” tanyaku kepada mereka yang
mulai melirikku.
“kami
sedang membicarakan masalah jilbab dan hijab, silahkan duduk disampingku ani”,
jawab yeni yang sedari tadi memang menyadari bahwa aku hanya sendiri.
Aku
duduk di kursi yang berada di samping Yeni, di dalam kubu ini bukan hanya aku
dan Yeni yang terlibat, tapi ada Rina, Ida dan Ika. Kami adalah sekelompok
mahasiswa yang tidak terlalu suka memperhatikan penampilan diri sendiri, namun
hal tersebut yang menjadikan kami satu. Dimulai dari hijab yang menjadi tren
mode saat ini, kami menilai hijab dapat menjadikan seseorang lebih kreatif,
tapi apakah sebuah keindahan mengenyampingkan norma?. Yeni yang tidak pernah mencoba
berhijab berusaha menjelaskan bahwa berkreasi adalah hal yang baik, namun norma
adalah yang utama. Kami semua setuju dengan persepsi yang ia lontarkan, dan jam
berakhir tanpa menyentuh materi kuliah hari itu.
Aku
dan teman-teman lainnya berjalan menyusuri anak tangga yang membawa kami ke
parkiran yang berada di belakang gedung kampus. Motor matic telah menantiku
sedari tadi. Aku mengucapkan salam perpisahan hari ini kepada mereka dan
berharap esok ada banyak cerita yang dapat mengisi waktu luang kami.
“Kring,,,,kring,,,,kring,,,”
handphone milikku berbunyi sebagai tanda sms masuk. Aku mencoba membacanya
dengan teliti dan disitu tertera sebuah pesan singkat namun jelas.
“Kakak
sebentar lagi ke kos ani. By Tirta”
Aku tertawa kecil saat membaca pesan singkat
itu, ada banyak cerita yang akan dia bagi hari ini bersamaku. Rasa lelah, letih
yang hanya bisa ia pendam sekarang akan segera berkurang. Tirta adalah gadis
manis manja yang telah kukenal sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar,
kami berpisah setelah tamat dari sekolah dasar, karena ia dan keluarganya harus
pindah. Namun hal tersebut tidak menjadikan kami memutuskan komunikasi. Masuk
ke jenjang universitas kami kembali di pertemukan. Meskipun berada di tingkat
yang sama, Tirta lebih tua satu tahun dariku, sangat beradab jika aku
memanggilnya kakak.
“Assalamu’alaikum
Ani,,,” suara itu akrab
ditelingaku, baru beberapa menit yang lalu Tirta mengirim sms itu dan sekarang
ia telah berada di balik pintu.
“Wa’alaikumsalam
kak,, kenapa secepat ini datangnya?”
jawabku sambil membuka pintu dan membawanya masuk.
“Hemm,,,
kalau tidak diperbolehkan, kakak lebih baik pulang”, Tirta mencoba berpura-pura kecewa
agar aku menarik kata-kataku sebelumnya.
Aku
hanya tersenyum dan kembali membujuknya. Kami berdua duduk berhadapan
beralaskan tikar pandan. Aku mencoba menawarkan beberapa cemilan namun ia lebih
memilih agar aku mendengarkan cerita panjangnya. Seorang wanita muslim yang
menggunakan kerudung adalah kewajibannya dalam menutup aurat, baik itu dari
segi ukuran maupun gayanya. Tidak ada manusia sempurna, terlihat indah saat
berpakaian tidak menutup kemungkinan ia akan terlepas dari sifat yang buruk.
Tirta mengeluh karena ia kesal akan sesuatu. Hari ini kesabarannya telah berada
di ambang batas, salah seorang temannya selalu membuatnya harus berkerja dua
kali. Tirta adalah seorang aktivis, ada banyak organisasi yang diikutinya,
tidak terlepas dari itu ada banyak masalah pula yang dihadapinya bukan hanya
berasal dari diri sendiri, tetapi juga berasal dari orang lain. Tirta
menceritakan kepadaku bahwa dia memiliki seorang teman yang jilbaber, dimana
kerudung yang ia kenakan dapat menggantikan posisi mukena. Namun sifat buruk
dari temannya membuat citra buruk. Tirta sendiri berpikir “apa guna jilbab
besar jika mulut tidak bisa dijaga”. Kepala ini menggeleng saat mendengar
kalimat singkat itu. Aku bangkit dan mencoba mengambil segelas air untuk Tirta
berharap kobaran api emosinya dapat mereda meski sesaat.
“Minumlah
dulu, Ani takut kalau kakak akan membakar kos ini dengan api emosi seperti itu”, kusodorkan gelas berisi air itu
kepadanya, dan menghabiskannya dalam
sekali tegukan.
“Ok
an, terima kasih untuk pereda emosinya, kakak tidak menyangka bahwa sifatnya
seburuk itu, ia seolah menutupi kejelakannya dengan kerudung besar yang ia
kenakan, ada banyak kegiatan yang kakak buat bersamanya, tapi sesuatu yang
seharusnya dapat ia pertanggungjawabkan selalu ia limpahkan kepada kakak”. Tirta melanjutkan ceritanya tanpa
memperdulikan aku yang sedari tadi menggeleng.
“Kak,
tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada manusia yang tidak pernah
berbuat salah. Hari ini kakak harus belajar, bahwa ia tidak dapat bertanggung
jawab atas pekerjaan yang diembannya, maka jangan pernah membawanya lagi
kedalam kegiatan yang kakak buat jika kakak takut hal yang sama akan terulang,
atau cobalah berbicara dengannya, ungkapkan semua keluhan kakak selama ini,
mungkin itu lebih baik” aku
mencoba memberi solusi dan mengambil segelas air untuk diriku sendiri.
Belum
habis air itu membasahai tenggorokanku, Tirta kembali mengatakan bahwa hal itu
telah ia lakukan, Tirta telah mencoba memberi pengertian kepada temannya, namun
tidak ada respon baik yang ia dapatkan. Aku mencoba berpikir keras, kata-kata
apa yang dapat menyadarkan Tirta bahwa hal kecil itu tidaklah perlu diperbesar,
dan tanpa sengaja aku mengeluarkan kata-kata bijak yang sebanding dengan Mario
Teguh.
“Ambil
sisi positifnya, seperti halnya dia berpakaian, namun jangan ambil sisi
negatifnya seperti halnya dia yang tidak dapat bertanggung jawab” ucapku sambil mengerlingkan sebelah
mata kepada Tirta berharap dia tidak membuat malaikat pencatat amal buruk
kembali menuliskan perbincangan kami hari ini.
“oohh,,
iya,, betul juga” suara yang
ia keluarkan terlalu kecil untuk dapat di dengar dari jarak lima meter.
Tirta beranjak dari duduknya, dan
mengambil tasnya yang sedari tadi ia letakkan tidak jauh dari tempat duduk
kami. Tanpa berbicara lebih lanjut ia pamit kepadaku dan mengucapkan terima
kasih atas saran yang aku berikan. Aku tersenyum dan mengantarnya hingga
kedepan pintu. Lambaian tangannya mengisyaratkan bahwa dia akan baik-baik saja
setelah semua ini, dan aku percaya bahwa dia dapat menyelesaikannya.
Keesokan
harinya, aktivitas kuliah kembali menyibukkanku. Berpindah dari satu ruang ke ruang
lain dalam memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa adalah pilihanku. Waktu tidak
memberikan banyak peluang bagiku untuk berbagi cerita lebih banyak bersama
teman-teman. Dari kejauhan aku melihat beberapa orang yang identitasnya kukenal
namun dengan penampilan yang berbeda. Aku berlari kecil kearah mereka dan
terkejut saat mengetahui perubahan yeng terjadi pada Ida dan Rina.
“Apa
yang terjadi dengan kalian? Apakah ada yang tersambar petir semalam?” candaku kepada mereka berdua.
“Heh,
jangankan petir, suara jangkrikpun aku tidak mendengarnya semalam” jawab Ida dengan gaya ketusnya
kepadaku.
“Jangan
seperti itu An, bukankah ini hal yang baik, mereka berdua berubah kearah yang
lebih baik” Yeni
menasehatiku yang sedari tadi menahan tawa.
“Maaf,,
ini hanya reaksi normal yang dihasilkan tubuhku saat aku terkejut” kataku sambil menyatukan kedua telapak
tangan dan meminta maaf kepada mereka.
Rina
yang sedari tadi berada di dekat kami tidak melontarkan sepatah katapun, dengan
kepribadiannya yang pendiam, Rina lebih memilih tersenyum tanpa harus mengoceh
bersama kami. Penampilan mereka berdua berubah, Ida yang dulunya menggunakan
jilbab segi empat yang kecil sekarang terlihat lebih besar dan menutupi kedua
bahunya, sedangkan Rina yang dari dulu memang sudah menggunakan jilbab
berukuran sebahu namun tidah pernah menyatukan kedua sisi jilbab bagian bawah
dengan sebuah bros, sekarang ia mengenakan bros mini yang tidak terlalu
mencolok, untuk Yeni sendiri, sejak dulu dia memang menggunakan jilbab segi
empat yang di perlebar, jika ia tidak memiliki sebuah bros untuk menyatukan
kedua sisi jilbab, maka sebuah jarum pentul menjadi pilihannya.
Kami
mengakhiri perbincangan sesaat itu dan berlanjat menuju anak tangga yang
membawa kami ke sebuah ruangan kuliah di lantai tiga. Seperti biasa, aku duduk
di kursi paling depan, karena jika aku duduk di kursi barisan ketiga,
teman-teman yang lain akan memulai di barisan keempat, dengan kata lain aku
akan tetap berada di kursi terdepan. Lima menit berselang, beberapa teman
langsung memenuhi kursi kosong di belakangku, suara ricuh kembali terdengar,
namun segera berhenti saat dosen yang mengajar hari ini tiba lebih cepat dari
biasanya.
“Kumpulkan
tugas kalian sekarang dan kita akan segera memulai kuliah hari ini” seru dosen tersebut sambil memberikan
perintah kepadaku untuk mengumpulkan tugas teman-teman.
“Tugas
Ani pasti lebih banyak, biar Cumlaude yaaa”
suara Aan memecah kesunyian di kelas itu, ia bahkan menjadikan aku
parameternya.
“Cumlaude
tidak ditentukan dari serajin apa kita membuat tugas, bagaimana hasilnya nanti,
dosenlah yang menilai”
jawabku dan berlalu dari hadapan mereka.
Kuliah
hari itu berjalan dengan baik, apa yang dosen jelaskan sedikit banyaknya aku
dapat mengerti. Sambil berjalan menuju parkiran, tidak sengaja aku berpapasan
dengan Aan. Sepanjang jalan kami berdua hanya diam, sepatah katapun tidak
keluar dari mulutku begitu juga dengan dia. Aku merasa bahwa tidak ada hal
penting yang perlu di bicarakan dengan dia, namun aku tahu ada hal yang ingin
ia katakan kepadaku. Langkah kaki tiba di sebuah tempat dimana kendaraan beroda
dua terparkir dengan rapi, sebelum aku menaiki motor maticku, Aan lebih dulu
membuka percakapan.
“Ani
multitalent ya?” Aan
bertanya seolah aku memang bisa melakukan segalanya.
“Doain
Ani ya, agar Ani bisa multitalent seperti yang Aan maksud” candaku tidak menghentikan percakapan
kami.
“Soalnya,
selama ini aku melihat bahwa Ani bisa segalanya, bisa pelajaran ini, pelajaran
yang itu maupun mengerjakan lainnya”
pernyataan yang Aan keluarkan menggambarkan ia yang tidak sadar dengan
kemampuan yang ia miliki.
“Aan
tidak pernah sadar, bahwa Aan memiliki kelebihan yang tidak Ani miliki, Aan
sangat pintar dalam bahasa inggris, sedang Ani begitu dungu dengan bahasa
asing. An, setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, Aan harus sadari itu,
jangan pernah beranggapan kalau Aan tidak bisa melakukan apa yang Ani lakukan” jawabanku begitu panjang berharap ada
beberapa kata yang dapat diterimanya.
“Aku
setuju An, aku pasti bisa mengalahkan Ani” Aan berlalu dari hadapanku
dengan semangatnya yang menjadikan aku sebagai parameter.
Terkadang
kita tidak menyadari apa yang kita miliki, hal apa yang sebenarnya dapat kita
lakukan tertutupi dengan rasa percaya diri yang kurang. Kelebihan dan
kekurangan seseorang begitu cepat terlihat tanpa menyadari kelebihan dan
kekurangan diri sendiri. Hal itu yang menjadikan kita terjatuh lebih cepat,
terluka lebih cepat dan terlambat untuk mengobati. Hal itulah yang ingin
kulakukan, membuat mereka tahu apa yang sebenarnya mereka punya.
thank you very
much , I expect criticism to improve this short story in the future.
No comments:
Post a Comment