Saturday, 13 December 2014

Cerpen Peringatan hari Ibu

MOM, WE LOVE YOU SO MUCH
“Sekarang  jam  enam  lewat lima….Sekarang jam enam lewat lima”, berulang kali alarm itu berbunyi di telinga ku, tanpa aku  sadari mama sudah membuka seluruh jendela di kamarku yang bahkan  semut  pun  tak dapat hidup di dalamnya. Segera aku beranjak dari tempat  tidur dan  menyapa mama yang akan memulai ceramahnya pagi ini. Raut wajah mama menyiratkan bahwa aku akan segera di beri kuliah sebanyak 5 SKS pagi ini, tanpa kupedulikan, segera aku berlari menggapai handuk yang berada di balik pintu kamar dan mengayunkan langkah seribu menuju kamar mandi.
“bukk…bukk…bukk… siapa di dalam??? Cepat yaaaa”  hal seperti inilah yang terkadang membuatku malas untuk segera terbangun dari tidurku. Antri di depan kamar mandi sambil mendengar radio mama yang selalu di putar pagi-pagi di dapur beitulah gambaranku saat ini. Ironisnya, adikku mempunyai kebiasaan buruk jika sudah berada di dalam kamar mandi. Ia bahkan sanggup berjam-jam di dalam kamar mandi tanpa menyadari situasi dan kondisi orang lain.
15 menit aku berdiri di depan kamar mandi dengan gaya layaknya penagih  hutang, begitu pintu kamar mandi terbuka, tanpa rasa bersalah adikku segera berlalu dari hadapanku. “Udah lama, seolah gak bersalah pula tu”, sindiranku sepertinya kurang pedas, karena adikku terlihat biasa-biasa saja dan tidak ada niat untuk minum air karena efek kepedasan. Segera aku memasuki kamar mandi yang suhu di dalamnya dapat mencapai 22°C karena hari masih pagi.
Doaku pagi itu telah ku panjatkan kepada Sang Rabb, subuhku berlalu dengan suara ayam yang tetap setia membangunkan orang lain, hatiku terasa lega, berharap hari ini akan aku lalui dengan sebaik-baiknya. Terlihat mama duduk manis di depan meja klasik dengan tumpukan buku dan kertas di atas meja, mama adalah seorang wanita paruh baya yang mengenakan kaca mata sejak  ia berada di bangku SMP. Mama adalah seorang wanita yang teguh, yang tetap tersenyum meski berjuang sendiri untuk menghidupi ketiga buah hatinya. Aku dekati mama yang sedang fokus dengan tugasnya, “ma, hari ini apa yang harus Santri kerjakan?” seharusnya di usiaku yang sekarang, bukan pertanyaan seperti ini yang di ajukan. Mama beralih memandangku, dari raut wajah mama, sepertinya memang benar, kalau pertanyaanku salah. “udah bangun telat, gak pula tau apa yang mau di kerjakan. Cobalah dulu gunakan ilmu pertanian untuk ngurus bunga mama di depan”, perintah mama layaknya perintah yang sekaligus merupakan ultimatum terakhir untukku. “Kenapa harus dengan ilmu pertanian?” pertanyaan itu terlintas di benakku dengan rasa kesalku ikut bermain disana. Apa mama menguji kemampuanku?
Udara pagi merasuk kedalam setiap pori-pori tubuhku, Aroma hujan malam itu masih dapat tercium olehku. Dalam keluarga kami, aku dijuluki si hidung tajam, karena meskipun fisikku berada dalam keadaan yang kurang sehat, hidung ini masih dapat mencium bau dan wewangian apapun. Terlihat dari kejauhan ember dengan tali panjang menjuntai di jembatan rumahku. Dengan imaginasiku yang tinggi, aku merasa seolah ember itu mentertawakanku dan mengatakan “hai Santri, pagi ini kau harus menggunakan ilmu pertanianmu untuk mengurus bunga-bunga ibu, dan jangan kasar-kasar menggunakanku”.
Inilah kediamanku, rumah panggung dengan gaya minang klasik, yang memiliki teras tiga meter dan disambung dengan jembatan beratap dengan panjang 19 meter. Kiri kanan jembatan di hiasi dengan berbagai jenis tanaman. Mulai dari jenis bunga-bungaan, hingga jenis tanaman obat-obatan. Mama memiliki hobi merawat tanaman, di sela-sela kesibukan, mama menyempatkan waktu untuk menata dan merawat tanaman-tanamannya. Terkadang di saat kesibukan menguasai diri mama, aku dan adik-adik yang akan mengambil andil dalam merawat tanaman-tanaman itu.
Segera aku raih ember bertali yang sedari tadi telah bosan aku pandangi. Ember  itu memiliki tali yang cukup panjang, sehingga air yang  mengalir di bawah jembatan rumahku dapat di raih dengan mudah. Perlahan tapi pasti, seluruh tanaman yang berada di sepanjang jembatan telah siap untuk melakukan proses fotosintesis pagi ini. Sumber karbon  di peroleh dari udara, dan sumber air telah diperoleh dari yang aku berikan pagi ini. Matahari semakin memancarkan sinarnya dari ufuk timur, lelahku bahkan terhapuskan melihat tanaman-tanaman yang akan segera menghasilkan Oksigen untuk aku gunakan dalam proses pernapasan.
Kulangkahkan kaki ini kembali menuju rumah minang nan klasik dengan di kelilingi panorama alam yang masih asri. “Ma, udah selesai tugas Santri yaaa” , laporan kerja wajib di berikan layaknya polisi yang baru pulang dari TKP (Tempat Kejadian Peristiwa. “eumm… udah  siap yaaa?? Berikutnya coba dulu setrika baju di kamar tu”, perintah kerja berikutnya telah keluar, sebelum kaki ini melangkah layaknya Top One si Gesit Irit, terlebih dulu mata elang ini mengincar seekor anak ayam yang sedari pagi belum terlihat batang hidungnya. “Ma, kemana Nina??.. dari tadi pagi gak ada kelihatan batang hidungnya”. Pertanyaan itu menyadarkan mama  yang memang dari tadi tidak melihat buah hatinya yang paling mirip dengan cina karam. “Ninaaaaaaaaaa!!! Ninaaaaaa!! Ninaaaaa!! Suara mama bahkan mengalahkan suaraku yang setiap harinya latihan vocal dimana saja. “hihihih” dalam hati tertawa jahat layaknya penyihir seperti dalam film Harry Potter. “Iyaaaaaaa maaaaaaa….”, terdengar hentakan keras dan ayunan rumah yang bergoyang karena si cina karam akan segera tiba ke hadapan mama.
Kulit putih, gigi payung, lesung pipi dan berkaca mata, itulah gambaran singkat tentang Nina, adikku yang berbeda usia 3,5 tahun dengan ku.  Sifatnya yang keras kepala terkadang membuat mama tidak dapat berkata-kata lagi, meskipun ia bersikeras mengatakan bahwa ia punya jiwa seperti mama, namun mama dengan tegas mengatakan, “meskipun dia memiliki fisik seperti mama, jiwanya tetaplah berasal dari papa”. Dan kalimat seperti itu tetap dianggap kalimat yang tidak layak untuk di dengar olehnya.
“Kenapa ma???” pertanyaan singkat, namun akan memperoleh jawaban yang sangat panjang. “Dariman aja? Tidur lagi yaaa? Bereskan  rumah ni, kakak dari tadi udah nyiram bunga, ini sebentar lagi dia mau setrika baju, janganlah karena kakak udah pulang kerja yang bisanya Nina kerjakan jadi terbengkalai”. Yuhuuu jawabannya tepat seperti apa yang aku pikirkan. Tapi apa kalian pikir adikku Nina akan terima begitu saja? TIDAK!!. Begitu banyak jurus alasan yang dikeluarkannya sebagai pembelaan atas dirinya. Tapi pada akhirnya, perintah mama bukanlah perintah yang dapat di langgar begitu saja. Segera Nina berlalu dari hadapan mama dan mengambil bagian yang seharusnya menjadi pekerjaan rumahnya setiap  hari.
Aku berjalan mengambil keranjang yang telah berubah menjadi gunug baju kusut yang siap untuk merasakan panasnya setrikaanku. Mata elang yang kupunya masih sempat-sempatnya melirik kelender yang berada tepat di depanku. “ 02 Januari 2014, eh ini tanggal lahir mama,,, tahun ini usia mama 43 tahun, namun sekalipun mama tidak pernah meminta hadiah dari kami anak-anaknya” otak besarku mulai membongkar file yang berisi memory tentang perjuangan mama yang hanya bisa menangis sendiri setelah menjadi orang tua tunggal.
Tahun 2012, dengan kaca mata yang berembun, mama duduk termenung di dapur. Segera kudekati mama dan bertanya apa yang terjadi. “Mama kenapa? Ceritalah sama Santri” selayaknya anak sulung, hanya aku yang dapat menjadi teman curhat mama saat ini pikirku. “Dengan kesehatan mama yang rentan seperti ini, rasanya tidak ingin mama mengambil bagian dari sebuah organisasi”. Teriris rasanya hati ini saat melihat air mata mama harus menetes membasahi mata mama yang telah menua. “Mama di tunjuk sebagai ketua BKMT, dan  mama menolak itu. Berulang kali mama menolak karena karena alasan kesehatan mama ini”. Cerita mama bahkan membuatku kesal kepada mereka yang memaksa mama. Mereka bahkan tidak mengerti dengan penyakit yang di derita mama saat ini. Glukoma, adalah penyakit yang di derita mama saat ini, dimana akan terjadi kebutaan tanpa sebab. Penolakan yang di lakukan mama di depan semua orang dengan air mata yang terus mengalir, akhirnya memberi hasil dengan mereka mengerti akan keadaan mama, dan menerima penolakan mama yang telah berurai air mata.
Tahun 2013, terlihat dari kejauhan mama sengaja menghampiriku yang sedang asyik mengunyah berbagai jenis cemilan dari lemari kaca yang tingginya 30 cm lebih tinggi dariku. “Santri, mama mau tanya, kalau sekiranya mama menjadi kepala dinas bagaimana menurut Santri?” pertanyaan mama membuat aku terkejut dengan rasa senang bercampur gelisah. “Kenapa mama nanyaknya kayak gitu? Yaaaa kalau menurut santri itu terserah mama, apa bisa mama mempertanggung jawabkannya nanti?, apa bisa mama handle nanti antara urusan keluarga dengan urusan kantor?”. Mama tersenyum mendengar jawabanku, dan ternyata mama memang telah memutuskan sebelum pertanyaan ini ia ajukan kepadaku. “Surat keputusan dari bupati sudah keluar, dan  pelantikannya sudah di laksanakan, tapi mama tidak hadir, gemetar rasanya mama jika harus menerima itu. Tidak sanggup mama untuk mempertanggung jawabkan nanti kedepannya, dan akan sulit untuk mama memperhatikan kalian. Terlebih lagi, mama ingin tetap menjadi seorang guru seperti apa yang di inginkan papa dan nenek kalian”. Rasa kagum terhadap mama semakin bertambah di benakku, banyak orang di luar sana yang menginginkan jabatan kepala dinas sampai harus merogoh saku demi mendapatkan kesempatan itu. Tapi mama, dengan tegas menolak perintah tugas yang langsung di berikan bupati kepadanya. Malam itu, mama yang di temani abang sepupu sekaligus keponakan mama, berangkat menuju ke kediaman Bupati untuk memperjelas penolakan tugas dan bersyukur bahwa bapak daerah ini dapat mengerti keputusan mama.
Tersadar aku dari lamunan panjangku dengan tangan masih berada di ujung keranjang baju. Kupercepat tangan ini untuk memulai menyetrika baju satu per satu dengan kepala yang masih berpikir “apa yang harus kami lakukan untuk mama?”. Dua jam aku bermain dengan setrikaan baju, dan segera aku menghampiri Nina adikku si cina karam. “Nin, hari ini mama ulang tahun, yoklah kita kasih mama hadiah” bisikku kepada Nina. “eh iya ya kak, ayoklah kita keluar beli”. Dengan segera kami kumpulkan uang celengan yang jumlahnya tidaklah seberapa. Kunci kereta yang di gantung di dinding ruang  tamu segera kuraih, setelah pamitan kepada mama dengan alasan membeli buku, aku dan adikku segera meluncur menuju sebuah toko.
Barang sederhana telah kami bungkus dengan rapi, dengan senyum malu-malu kucing, kami hampiri mama yang menunggu kepulangan kami di rumah. “Darimana aja kalian?” mama penasaran dengan tingkah kami. Kuberi kode kepada nina untuk mengucapkannya secara bersamaan. “SELAMAT ULANG TAHUN MAMA” kami berikan hadiah kecil untuk mama dengan bungkusan yang sanga sederhana. Tidak disangka mama begitu terkejut sekaligus senang penuh haru atas hadiah kecil yang kami berikan. “beginilah rasanya mendapat hadiah yaa” air mata haru mama kembali membasahi mata tuanya. “Ma, selama ini, mama yang telah banyak memberikan kami hadiah yang bahkan sampai kapanpun tidak dapat kami membalasnya, jadi biarkanlah hadiah kecil dari kami ini menjadi obat luka mama selama ini”. Mama bahkan tidak sanggup membendung air matanya dan memberikan ciuman kasih kepada kami buah hatinya.

Terkadang, bukanlah hadiah yang diinginkan seorang ibu sebagai pelipur laranya, melainkan senyum kebahagiaan dari buah hatinya. Lelah seorang ibu akan sirna disaat dia mendapatkan perhatian dari anak-anaknya. Senyum seorang ibu akan merekah disaat ia melihat senyum kebahagiaan memancar dari wajah anak-anaknya. “Mom , we love you so much , as much froth in the sea , as the stars in the sky that can not be innumerable now and forever, thank you for all the love that you have provided to us”.  

No comments:

Lirik Mars Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Terbaru - 2021

 MARS ATR/BPN 2021 Insan Pertanahan dan Tata Ruang Baktikan diri membangun bangsa Bersatu hadirkan layanan prima Maju modern berstanda...