MOM, WE LOVE YOU SO MUCH
“Sekarang jam enam lewat lima….Sekarang jam enam lewat lima”,
berulang kali alarm itu berbunyi di telinga ku, tanpa aku sadari mama sudah membuka seluruh jendela di
kamarku yang bahkan semut pun
tak dapat hidup di dalamnya. Segera aku beranjak dari tempat tidur dan
menyapa mama yang akan memulai ceramahnya pagi ini. Raut wajah mama
menyiratkan bahwa aku akan segera di beri kuliah sebanyak 5 SKS pagi ini, tanpa
kupedulikan, segera aku berlari menggapai handuk yang berada di balik pintu
kamar dan mengayunkan langkah seribu menuju kamar mandi.
“bukk…bukk…bukk…
siapa di dalam??? Cepat yaaaa” hal
seperti inilah yang terkadang membuatku malas untuk segera terbangun dari
tidurku. Antri di depan kamar mandi sambil mendengar radio mama yang selalu di
putar pagi-pagi di dapur beitulah gambaranku saat ini. Ironisnya, adikku
mempunyai kebiasaan buruk jika sudah berada di dalam kamar mandi. Ia bahkan
sanggup berjam-jam di dalam kamar mandi tanpa menyadari situasi dan kondisi
orang lain.
15 menit
aku berdiri di depan kamar mandi dengan gaya layaknya penagih hutang, begitu pintu kamar mandi terbuka,
tanpa rasa bersalah adikku segera berlalu dari hadapanku. “Udah lama, seolah
gak bersalah pula tu”, sindiranku sepertinya kurang pedas, karena adikku
terlihat biasa-biasa saja dan tidak ada niat untuk minum air karena efek
kepedasan. Segera aku memasuki kamar mandi yang suhu di dalamnya dapat mencapai
22°C karena hari masih pagi.
Doaku pagi
itu telah ku panjatkan kepada Sang Rabb, subuhku berlalu dengan suara ayam yang
tetap setia membangunkan orang lain, hatiku terasa lega, berharap hari ini akan
aku lalui dengan sebaik-baiknya. Terlihat mama duduk manis di depan meja klasik
dengan tumpukan buku dan kertas di atas meja, mama adalah seorang wanita paruh
baya yang mengenakan kaca mata sejak ia
berada di bangku SMP. Mama adalah seorang wanita yang teguh, yang tetap
tersenyum meski berjuang sendiri untuk menghidupi ketiga buah hatinya. Aku
dekati mama yang sedang fokus dengan tugasnya, “ma, hari ini apa yang harus
Santri kerjakan?” seharusnya di usiaku yang sekarang, bukan pertanyaan seperti
ini yang di ajukan. Mama beralih memandangku, dari raut wajah mama, sepertinya
memang benar, kalau pertanyaanku salah. “udah bangun telat, gak pula tau apa
yang mau di kerjakan. Cobalah dulu gunakan ilmu pertanian untuk ngurus bunga
mama di depan”, perintah mama layaknya perintah yang sekaligus merupakan
ultimatum terakhir untukku. “Kenapa harus dengan ilmu pertanian?” pertanyaan
itu terlintas di benakku dengan rasa kesalku ikut bermain disana. Apa mama menguji
kemampuanku?
Udara pagi
merasuk kedalam setiap pori-pori tubuhku, Aroma hujan malam itu masih dapat
tercium olehku. Dalam keluarga kami, aku dijuluki si hidung tajam, karena
meskipun fisikku berada dalam keadaan yang kurang sehat, hidung ini masih dapat
mencium bau dan wewangian apapun. Terlihat dari kejauhan ember dengan tali
panjang menjuntai di jembatan rumahku. Dengan imaginasiku yang tinggi, aku
merasa seolah ember itu mentertawakanku dan mengatakan “hai Santri, pagi ini
kau harus menggunakan ilmu pertanianmu untuk mengurus bunga-bunga ibu, dan
jangan kasar-kasar menggunakanku”.
Inilah
kediamanku, rumah panggung dengan gaya minang klasik, yang memiliki teras tiga
meter dan disambung dengan jembatan beratap dengan panjang 19 meter. Kiri kanan
jembatan di hiasi dengan berbagai jenis tanaman. Mulai dari jenis
bunga-bungaan, hingga jenis tanaman obat-obatan. Mama memiliki hobi merawat
tanaman, di sela-sela kesibukan, mama menyempatkan waktu untuk menata dan
merawat tanaman-tanamannya. Terkadang di saat kesibukan menguasai diri mama,
aku dan adik-adik yang akan mengambil andil dalam merawat tanaman-tanaman itu.
Segera aku
raih ember bertali yang sedari tadi telah bosan aku pandangi. Ember itu memiliki tali yang cukup panjang,
sehingga air yang mengalir di bawah
jembatan rumahku dapat di raih dengan mudah. Perlahan tapi pasti, seluruh
tanaman yang berada di sepanjang jembatan telah siap untuk melakukan proses
fotosintesis pagi ini. Sumber karbon di
peroleh dari udara, dan sumber air telah diperoleh dari yang aku berikan pagi
ini. Matahari semakin memancarkan sinarnya dari ufuk timur, lelahku bahkan
terhapuskan melihat tanaman-tanaman yang akan segera menghasilkan Oksigen untuk
aku gunakan dalam proses pernapasan.
Kulangkahkan
kaki ini kembali menuju rumah minang nan klasik dengan di kelilingi panorama
alam yang masih asri. “Ma, udah selesai tugas Santri yaaa” , laporan kerja
wajib di berikan layaknya polisi yang baru pulang dari TKP (Tempat Kejadian
Peristiwa. “eumm… udah siap yaaa??
Berikutnya coba dulu setrika baju di kamar tu”, perintah kerja berikutnya telah
keluar, sebelum kaki ini melangkah layaknya Top One si Gesit Irit, terlebih
dulu mata elang ini mengincar seekor anak ayam yang sedari pagi belum terlihat
batang hidungnya. “Ma, kemana Nina??.. dari tadi pagi gak ada kelihatan batang
hidungnya”. Pertanyaan itu menyadarkan mama
yang memang dari tadi tidak melihat buah hatinya yang paling mirip
dengan cina karam. “Ninaaaaaaaaaa!!! Ninaaaaaa!! Ninaaaaa!! Suara mama bahkan
mengalahkan suaraku yang setiap harinya latihan vocal dimana saja. “hihihih”
dalam hati tertawa jahat layaknya penyihir seperti dalam film Harry Potter.
“Iyaaaaaaa maaaaaaa….”, terdengar hentakan keras dan ayunan rumah yang
bergoyang karena si cina karam akan segera tiba ke hadapan mama.
Kulit
putih, gigi payung, lesung pipi dan berkaca mata, itulah gambaran singkat
tentang Nina, adikku yang berbeda usia 3,5 tahun dengan ku. Sifatnya yang keras kepala terkadang membuat
mama tidak dapat berkata-kata lagi, meskipun ia bersikeras mengatakan bahwa ia
punya jiwa seperti mama, namun mama dengan tegas mengatakan, “meskipun dia
memiliki fisik seperti mama, jiwanya tetaplah berasal dari papa”. Dan kalimat
seperti itu tetap dianggap kalimat yang tidak layak untuk di dengar olehnya.
“Kenapa
ma???” pertanyaan singkat, namun akan memperoleh jawaban yang sangat panjang.
“Dariman aja? Tidur lagi yaaa? Bereskan
rumah ni, kakak dari tadi udah nyiram bunga, ini sebentar lagi dia mau
setrika baju, janganlah karena kakak udah pulang kerja yang bisanya Nina
kerjakan jadi terbengkalai”. Yuhuuu jawabannya tepat seperti apa yang aku
pikirkan. Tapi apa kalian pikir adikku Nina akan terima begitu saja? TIDAK!!.
Begitu banyak jurus alasan yang dikeluarkannya sebagai pembelaan atas dirinya.
Tapi pada akhirnya, perintah mama bukanlah perintah yang dapat di langgar
begitu saja. Segera Nina berlalu dari hadapan mama dan mengambil bagian yang
seharusnya menjadi pekerjaan rumahnya setiap
hari.
Aku
berjalan mengambil keranjang yang telah berubah menjadi gunug baju kusut yang
siap untuk merasakan panasnya setrikaanku. Mata elang yang kupunya masih
sempat-sempatnya melirik kelender yang berada tepat di depanku. “ 02 Januari
2014, eh ini tanggal lahir mama,,, tahun ini usia mama 43 tahun, namun
sekalipun mama tidak pernah meminta hadiah dari kami anak-anaknya” otak besarku
mulai membongkar file yang berisi memory tentang perjuangan mama yang hanya
bisa menangis sendiri setelah menjadi orang tua tunggal.
Tahun 2012,
dengan kaca mata yang berembun, mama duduk termenung di dapur. Segera kudekati
mama dan bertanya apa yang terjadi. “Mama kenapa? Ceritalah sama Santri”
selayaknya anak sulung, hanya aku yang dapat menjadi teman curhat mama saat ini
pikirku. “Dengan kesehatan mama yang rentan seperti ini, rasanya tidak ingin
mama mengambil bagian dari sebuah organisasi”. Teriris rasanya hati ini saat
melihat air mata mama harus menetes membasahi mata mama yang telah menua. “Mama
di tunjuk sebagai ketua BKMT, dan mama
menolak itu. Berulang kali mama menolak karena karena alasan kesehatan mama
ini”. Cerita mama bahkan membuatku kesal kepada mereka yang memaksa mama.
Mereka bahkan tidak mengerti dengan penyakit yang di derita mama saat ini.
Glukoma, adalah penyakit yang di derita mama saat ini, dimana akan terjadi
kebutaan tanpa sebab. Penolakan yang di lakukan mama di depan semua orang
dengan air mata yang terus mengalir, akhirnya memberi hasil dengan mereka
mengerti akan keadaan mama, dan menerima penolakan mama yang telah berurai air
mata.
Tahun 2013,
terlihat dari kejauhan mama sengaja menghampiriku yang sedang asyik mengunyah
berbagai jenis cemilan dari lemari kaca yang tingginya 30 cm lebih tinggi
dariku. “Santri, mama mau tanya, kalau sekiranya mama menjadi kepala dinas
bagaimana menurut Santri?” pertanyaan mama membuat aku terkejut dengan rasa
senang bercampur gelisah. “Kenapa mama nanyaknya kayak gitu? Yaaaa kalau
menurut santri itu terserah mama, apa bisa mama mempertanggung jawabkannya
nanti?, apa bisa mama handle nanti antara urusan keluarga dengan urusan
kantor?”. Mama tersenyum mendengar jawabanku, dan ternyata mama memang telah
memutuskan sebelum pertanyaan ini ia ajukan kepadaku. “Surat keputusan dari
bupati sudah keluar, dan pelantikannya
sudah di laksanakan, tapi mama tidak hadir, gemetar rasanya mama jika harus
menerima itu. Tidak sanggup mama untuk mempertanggung jawabkan nanti
kedepannya, dan akan sulit untuk mama memperhatikan kalian. Terlebih lagi, mama
ingin tetap menjadi seorang guru seperti apa yang di inginkan papa dan nenek
kalian”. Rasa kagum terhadap mama semakin bertambah di benakku, banyak orang di
luar sana yang menginginkan jabatan kepala dinas sampai harus merogoh saku demi
mendapatkan kesempatan itu. Tapi mama, dengan tegas menolak perintah tugas yang
langsung di berikan bupati kepadanya. Malam itu, mama yang di temani abang
sepupu sekaligus keponakan mama, berangkat menuju ke kediaman Bupati untuk
memperjelas penolakan tugas dan bersyukur bahwa bapak daerah ini dapat mengerti
keputusan mama.
Tersadar
aku dari lamunan panjangku dengan tangan masih berada di ujung keranjang baju.
Kupercepat tangan ini untuk memulai menyetrika baju satu per satu dengan kepala
yang masih berpikir “apa yang harus kami lakukan untuk mama?”. Dua jam aku
bermain dengan setrikaan baju, dan segera aku menghampiri Nina adikku si cina karam.
“Nin, hari ini mama ulang tahun, yoklah kita kasih mama hadiah” bisikku kepada
Nina. “eh iya ya kak, ayoklah kita keluar beli”. Dengan segera kami kumpulkan
uang celengan yang jumlahnya tidaklah seberapa. Kunci kereta yang di gantung di
dinding ruang tamu segera kuraih,
setelah pamitan kepada mama dengan alasan membeli buku, aku dan adikku segera
meluncur menuju sebuah toko.
Barang
sederhana telah kami bungkus dengan rapi, dengan senyum malu-malu kucing, kami
hampiri mama yang menunggu kepulangan kami di rumah. “Darimana aja kalian?”
mama penasaran dengan tingkah kami. Kuberi kode kepada nina untuk
mengucapkannya secara bersamaan. “SELAMAT ULANG TAHUN MAMA” kami berikan hadiah
kecil untuk mama dengan bungkusan yang sanga sederhana. Tidak disangka mama
begitu terkejut sekaligus senang penuh haru atas hadiah kecil yang kami
berikan. “beginilah rasanya mendapat hadiah yaa” air mata haru mama kembali
membasahi mata tuanya. “Ma, selama ini, mama yang telah banyak memberikan kami
hadiah yang bahkan sampai kapanpun tidak dapat kami membalasnya, jadi
biarkanlah hadiah kecil dari kami ini menjadi obat luka mama selama ini”. Mama
bahkan tidak sanggup membendung air matanya dan memberikan ciuman kasih kepada
kami buah hatinya.
Terkadang,
bukanlah hadiah yang diinginkan seorang ibu sebagai pelipur laranya, melainkan
senyum kebahagiaan dari buah hatinya. Lelah seorang ibu akan sirna disaat dia
mendapatkan perhatian dari anak-anaknya. Senyum seorang ibu akan merekah disaat
ia melihat senyum kebahagiaan memancar dari wajah anak-anaknya. “Mom , we love
you so much , as much froth in the sea , as the stars in the sky that can not
be innumerable now and forever, thank you for all the love that you have
provided to us”.
No comments:
Post a Comment