Tuesday, 22 September 2015

Cerpen - Biarkan Mereka Tahu

BIARKAN MEREKA TAHU

          Duduk terpaku menatap keramaian dan kebisingan, aku hanya dapat diam seraya berpikir “apa yang membuat mereka begitu senang hari ini?”. Apakah karena dosen yang tidak hadir atau karena ada perbincangan yang tidak kuketahui. Kucoba mengambil sebuah buku dari tas hitam tua milikku berharap ada sesuatu yang dapat mengisi waktu lamunan ini, namun nihil, hanya buku catatan biasa yang kutemukan. Mencoba merangkul dan berbagi dengan teman adalah hal yang sulit bagiku. Tidak ingin dianggap terlalu akrab dan sok kenal adalah ketakutanku. Berpikir jika aku terlihat bodoh saat ini hanya karena alasan seperti itu adalah bukan pilihan, akhirnya aku bangkit dari kursi dan berpindah menuju sebuah kubu yang dapat menerima keberadaanku.

Apa yang kalian bicarakan? Dapatkah aku bergabung?” tanyaku kepada mereka yang mulai melirikku.

kami sedang membicarakan masalah jilbab dan hijab, silahkan duduk disampingku ani”, jawab yeni yang sedari tadi memang menyadari bahwa aku hanya sendiri.

          Aku duduk di kursi yang berada di samping Yeni, di dalam kubu ini bukan hanya aku dan Yeni yang terlibat, tapi ada Rina, Ida dan Ika. Kami adalah sekelompok mahasiswa yang tidak terlalu suka memperhatikan penampilan diri sendiri, namun hal tersebut yang menjadikan kami satu. Dimulai dari hijab yang menjadi tren mode saat ini, kami menilai hijab dapat menjadikan seseorang lebih kreatif, tapi apakah sebuah keindahan mengenyampingkan norma?. Yeni yang tidak pernah mencoba berhijab berusaha menjelaskan bahwa berkreasi adalah hal yang baik, namun norma adalah yang utama. Kami semua setuju dengan persepsi yang ia lontarkan, dan jam berakhir tanpa menyentuh materi kuliah hari itu.

          Aku dan teman-teman lainnya berjalan menyusuri anak tangga yang membawa kami ke parkiran yang berada di belakang gedung kampus. Motor matic telah menantiku sedari tadi. Aku mengucapkan salam perpisahan hari ini kepada mereka dan berharap esok ada banyak cerita yang dapat mengisi waktu luang kami.

Kring,,,,kring,,,,kring,,,” handphone milikku berbunyi sebagai tanda sms masuk. Aku mencoba membacanya dengan teliti dan disitu tertera sebuah pesan singkat namun jelas.

Kakak sebentar lagi ke kos ani. By Tirta

Aku tertawa kecil saat membaca pesan singkat itu, ada banyak cerita yang akan dia bagi hari ini bersamaku. Rasa lelah, letih yang hanya bisa ia pendam sekarang akan segera berkurang. Tirta adalah gadis manis manja yang telah kukenal sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar, kami berpisah setelah tamat dari sekolah dasar, karena ia dan keluarganya harus pindah. Namun hal tersebut tidak menjadikan kami memutuskan komunikasi. Masuk ke jenjang universitas kami kembali di pertemukan. Meskipun berada di tingkat yang sama, Tirta lebih tua satu tahun dariku, sangat beradab jika aku memanggilnya kakak.

“Assalamu’alaikum Ani,,,” suara itu akrab ditelingaku, baru beberapa menit yang lalu Tirta mengirim sms itu dan sekarang ia telah berada di balik pintu.

“Wa’alaikumsalam kak,, kenapa secepat ini datangnya?” jawabku sambil membuka pintu dan membawanya masuk.

“Hemm,,, kalau tidak diperbolehkan, kakak lebih baik pulang”, Tirta mencoba berpura-pura kecewa agar aku menarik kata-kataku sebelumnya.

          Aku hanya tersenyum dan kembali membujuknya. Kami berdua duduk berhadapan beralaskan tikar pandan. Aku mencoba menawarkan beberapa cemilan namun ia lebih memilih agar aku mendengarkan cerita panjangnya. Seorang wanita muslim yang menggunakan kerudung adalah kewajibannya dalam menutup aurat, baik itu dari segi ukuran maupun gayanya. Tidak ada manusia sempurna, terlihat indah saat berpakaian tidak menutup kemungkinan ia akan terlepas dari sifat yang buruk. Tirta mengeluh karena ia kesal akan sesuatu. Hari ini kesabarannya telah berada di ambang batas, salah seorang temannya selalu membuatnya harus berkerja dua kali. Tirta adalah seorang aktivis, ada banyak organisasi yang diikutinya, tidak terlepas dari itu ada banyak masalah pula yang dihadapinya bukan hanya berasal dari diri sendiri, tetapi juga berasal dari orang lain. Tirta menceritakan kepadaku bahwa dia memiliki seorang teman yang jilbaber, dimana kerudung yang ia kenakan dapat menggantikan posisi mukena. Namun sifat buruk dari temannya membuat citra buruk. Tirta sendiri berpikir “apa guna jilbab besar jika mulut tidak bisa dijaga”. Kepala ini menggeleng saat mendengar kalimat singkat itu. Aku bangkit dan mencoba mengambil segelas air untuk Tirta berharap kobaran api emosinya dapat mereda meski sesaat.

“Minumlah dulu, Ani takut kalau kakak akan membakar kos ini dengan api emosi seperti itu”, kusodorkan gelas berisi air itu kepadanya, dan  menghabiskannya dalam sekali tegukan.

“Ok an, terima kasih untuk pereda emosinya, kakak tidak menyangka bahwa sifatnya seburuk itu, ia seolah menutupi kejelakannya dengan kerudung besar yang ia kenakan, ada banyak kegiatan yang kakak buat bersamanya, tapi sesuatu yang seharusnya dapat ia pertanggungjawabkan selalu ia limpahkan kepada kakak”. Tirta melanjutkan ceritanya tanpa memperdulikan aku yang sedari tadi menggeleng.

“Kak, tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah. Hari ini kakak harus belajar, bahwa ia tidak dapat bertanggung jawab atas pekerjaan yang diembannya, maka jangan pernah membawanya lagi kedalam kegiatan yang kakak buat jika kakak takut hal yang sama akan terulang, atau cobalah berbicara dengannya, ungkapkan semua keluhan kakak selama ini, mungkin itu lebih baik” aku mencoba memberi solusi dan mengambil segelas air untuk diriku sendiri.

          Belum habis air itu membasahai tenggorokanku, Tirta kembali mengatakan bahwa hal itu telah ia lakukan, Tirta telah mencoba memberi pengertian kepada temannya, namun tidak ada respon baik yang ia dapatkan. Aku mencoba berpikir keras, kata-kata apa yang dapat menyadarkan Tirta bahwa hal kecil itu tidaklah perlu diperbesar, dan tanpa sengaja aku mengeluarkan kata-kata bijak yang sebanding dengan Mario Teguh.
“Ambil sisi positifnya, seperti halnya dia berpakaian, namun jangan ambil sisi negatifnya seperti halnya dia yang tidak dapat bertanggung jawab” ucapku sambil mengerlingkan sebelah mata kepada Tirta berharap dia tidak membuat malaikat pencatat amal buruk kembali menuliskan perbincangan kami hari ini.

“oohh,, iya,, betul juga” suara yang ia keluarkan terlalu kecil untuk dapat di dengar dari jarak lima meter.

Tirta beranjak dari duduknya, dan mengambil tasnya yang sedari tadi ia letakkan tidak jauh dari tempat duduk kami. Tanpa berbicara lebih lanjut ia pamit kepadaku dan mengucapkan terima kasih atas saran yang aku berikan. Aku tersenyum dan mengantarnya hingga kedepan pintu. Lambaian tangannya mengisyaratkan bahwa dia akan baik-baik saja setelah semua ini, dan aku percaya bahwa dia dapat menyelesaikannya.

          Keesokan harinya, aktivitas kuliah kembali menyibukkanku. Berpindah dari satu ruang ke ruang lain dalam memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa adalah pilihanku. Waktu tidak memberikan banyak peluang bagiku untuk berbagi cerita lebih banyak bersama teman-teman. Dari kejauhan aku melihat beberapa orang yang identitasnya kukenal namun dengan penampilan yang berbeda. Aku berlari kecil kearah mereka dan terkejut saat mengetahui perubahan yeng terjadi pada Ida dan Rina.

“Apa yang terjadi dengan kalian? Apakah ada yang tersambar petir semalam?” candaku kepada mereka berdua.

“Heh, jangankan petir, suara jangkrikpun aku tidak mendengarnya semalam” jawab Ida dengan gaya ketusnya kepadaku.

“Jangan seperti itu An, bukankah ini hal yang baik, mereka berdua berubah kearah yang lebih baik” Yeni menasehatiku yang sedari tadi menahan tawa.

“Maaf,, ini hanya reaksi normal yang dihasilkan tubuhku saat aku terkejut” kataku sambil menyatukan kedua telapak tangan dan meminta maaf kepada mereka.

          Rina yang sedari tadi berada di dekat kami tidak melontarkan sepatah katapun, dengan kepribadiannya yang pendiam, Rina lebih memilih tersenyum tanpa harus mengoceh bersama kami. Penampilan mereka berdua berubah, Ida yang dulunya menggunakan jilbab segi empat yang kecil sekarang terlihat lebih besar dan menutupi kedua bahunya, sedangkan Rina yang dari dulu memang sudah menggunakan jilbab berukuran sebahu namun tidah pernah menyatukan kedua sisi jilbab bagian bawah dengan sebuah bros, sekarang ia mengenakan bros mini yang tidak terlalu mencolok, untuk Yeni sendiri, sejak dulu dia memang menggunakan jilbab segi empat yang di perlebar, jika ia tidak memiliki sebuah bros untuk menyatukan kedua sisi jilbab, maka sebuah jarum pentul menjadi pilihannya.

          Kami mengakhiri perbincangan sesaat itu dan berlanjat menuju anak tangga yang membawa kami ke sebuah ruangan kuliah di lantai tiga. Seperti biasa, aku duduk di kursi paling depan, karena jika aku duduk di kursi barisan ketiga, teman-teman yang lain akan memulai di barisan keempat, dengan kata lain aku akan tetap berada di kursi terdepan. Lima menit berselang, beberapa teman langsung memenuhi kursi kosong di belakangku, suara ricuh kembali terdengar, namun segera berhenti saat dosen yang mengajar hari ini tiba lebih cepat dari biasanya.

“Kumpulkan tugas kalian sekarang dan kita akan segera memulai kuliah hari ini” seru dosen tersebut sambil memberikan perintah kepadaku untuk mengumpulkan tugas teman-teman.

“Tugas Ani pasti lebih banyak, biar Cumlaude yaaa” suara Aan memecah kesunyian di kelas itu, ia bahkan menjadikan aku parameternya.

“Cumlaude tidak ditentukan dari serajin apa kita membuat tugas, bagaimana hasilnya nanti, dosenlah yang menilai” jawabku dan berlalu dari hadapan mereka.

          Kuliah hari itu berjalan dengan baik, apa yang dosen jelaskan sedikit banyaknya aku dapat mengerti. Sambil berjalan menuju parkiran, tidak sengaja aku berpapasan dengan Aan. Sepanjang jalan kami berdua hanya diam, sepatah katapun tidak keluar dari mulutku begitu juga dengan dia. Aku merasa bahwa tidak ada hal penting yang perlu di bicarakan dengan dia, namun aku tahu ada hal yang ingin ia katakan kepadaku. Langkah kaki tiba di sebuah tempat dimana kendaraan beroda dua terparkir dengan rapi, sebelum aku menaiki motor maticku, Aan lebih dulu membuka percakapan.

“Ani multitalent ya?” Aan bertanya seolah aku memang bisa melakukan segalanya.

“Doain Ani ya, agar Ani bisa multitalent seperti yang Aan maksud” candaku tidak menghentikan percakapan kami.

“Soalnya, selama ini aku melihat bahwa Ani bisa segalanya, bisa pelajaran ini, pelajaran yang itu maupun mengerjakan lainnya” pernyataan yang Aan keluarkan menggambarkan ia yang tidak sadar dengan kemampuan yang ia miliki.

“Aan tidak pernah sadar, bahwa Aan memiliki kelebihan yang tidak Ani miliki, Aan sangat pintar dalam bahasa inggris, sedang Ani begitu dungu dengan bahasa asing. An, setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, Aan harus sadari itu, jangan pernah beranggapan kalau Aan tidak bisa melakukan apa yang Ani lakukan” jawabanku begitu panjang berharap ada beberapa kata yang dapat diterimanya.

Aku setuju An, aku pasti bisa mengalahkan Ani” Aan berlalu dari hadapanku dengan semangatnya yang menjadikan aku sebagai parameter.

          Terkadang kita tidak menyadari apa yang kita miliki, hal apa yang sebenarnya dapat kita lakukan tertutupi dengan rasa percaya diri yang kurang. Kelebihan dan kekurangan seseorang begitu cepat terlihat tanpa menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Hal itu yang menjadikan kita terjatuh lebih cepat, terluka lebih cepat dan terlambat untuk mengobati. Hal itulah yang ingin kulakukan, membuat mereka tahu apa yang sebenarnya mereka punya.

thank you very much , I expect criticism to improve this short story in the future.


Lirik Mars Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Terbaru - 2021

 MARS ATR/BPN 2021 Insan Pertanahan dan Tata Ruang Baktikan diri membangun bangsa Bersatu hadirkan layanan prima Maju modern berstanda...